Senin, 23 Februari 2009

SEKTOR INFORMAL MASIH DOMINAN

SEKTOR INFORMAL MASIH DOMINAN

KELEBIHAN kegiatan informal dalam perekonomian suatu daerah adalah kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja sehingga sering disebut sebagai “katup pengaman” ketenagakerjaan. Diyakini bahwa dengan kemampuan menyerap tenaga kerja sebanyak banyaknya, jumlah pencari kerja (penganggur) akan berkurang dan pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan penduduk. Disini kita hanya melihat ukuran banyak atau sedikit penganggur berdampak pada kesejahteraan, namun apa memang demikian adanya? Beberapa penelitian berbicara sebaliknya, justru meningkatnya kegiatan informal sebagai ciri kemiskinan yang nota bene bukan semakin sejahtera (Sigit, 1972). Oleh sebab itu diberbagai negara berkembang maraknya sektor informal yang mampu menekan tingkat pengangguran terbuka secara signifikan malahan menurun daya belinya (Hauzer, 1998).
Data mengenai kegiatan informal dapat diperoleh melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS yang dilakukan dua kali dalam setahun. Melalui status pekerja, kegiatan informal dapat diperkirakan dari jumlah pekerja yang bekerja sendiri (tanpa bantuan orang lain); berusaha dengan pekerja tak dibayar/pekerja keluarga; pekerja keluarga; pekerja bebas pertanian maupun non-pertanian. Sebaliknya kegiatan formal adalah pekerja (karyawan) atau buruh; dan berusaha dengan pekerja tetap/dibayar. Intinya adalah kegiatan informal secara kasat mata merupakan kegiatan ekonomi yang biasanya tidak berbadan hukum; omzet relatif kecil; mudah berganti usaha dan lokasi usaha (mobile); sering melanggar peraturan daerah tentang ketertiban; produktivitas pekerja rendah dan tidak membutuhkan ketrampilan atau persyaratan khusus bagi tenagakerja untuk memasuki pasar kerja (free entry and free exits).
Jumlah pekerja di Kalimantan Barat pada bulan Februari 2008 mencapai 2.02 juta orang terdiri atas pekerja Formal 474 ribu orang (23.42%) dan pekerja Informal 1.55 juta orang (76.58%). Ini berarti satu dari empat pekerja di Kalimantan Barat bergerak disektor Informal.
Menurut klasifikasi data gender maupun spasial desa-kota juga memperlihatkan masih besarnya dominasi kegiatan Informal. Ter-
catat pekerja laki laki (L) yang bergerak disektor informal sekitar 71% sementara pekerja perempuan (P) mencatat angka lebih tinggi 85%. Pekerja didaerah kota (K) relatif berimbang informal 53% dan formal 47%; sedangkan didaerah desa (D) pekerja informal 83%.
Masih tingginya persentase pekerja Informal bisa disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah tidak seimbangnya pasar tenaga kerja formal (labor market) sehingga sektor informal merupakan pilihan dari pada “menganggur”. Keterpaksaan harus bekerja inilah yang mengakibatkan rendahnya produktivitas tenaga kerja, dan pada gilirannya adalah relatif rendahnya pendapatan pekerja. Pendapat Todaro (2000) yang mengatakan bahwa migrasi desa-kota mengakibatkan akumulasi kemiskinan kota mungkin ada benarnya karena mendorong meningkatnya pekerja informal diperkotaan. Pada saat menunggu musim panen, petani pedesaan tidak mempunyai pilihan lagi beralih pekerjaan apa saja yang menghasilkan uang dikota agar bisa menyambung kehidupan dengan ketrampilan yang terbatas. Fenomena ini seharusnya ditangkap oleh para perumus kebijakan didaerah dengan menciptakan kegiatan ekonomi padat karya melalui APBD sebagai fiscal stimulus, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan (Nyoto Widodo, Alumnus FE-UI tinggal di Pontianak).