Kamis, 08 Januari 2009

PENGANGGUR TERDIDIK PERLU DIWASPADAI

PENGANGGURAN saat ini dipandang sebagai salah satu indikator kemiskinan karena per definisinya penganggur adalah penduduk yang mencari kerja (looking for work). Dikaitkan dengan kemiskinan, karena argumentasinya belum bekerja, mereka merupakan kelompok penduduk strata ekonomi rendah yang membutuhkan pekerjaan. Argumentasi ini tidak seluruhnya benar, karena banyak dijumpai kelompok penduduk tidak bekerja karena lapangan kerja yang tersedia tidak sesuai dengan pendidikannya dan mereka memilih tidak bekerja dari pada asal kerja (F Foli, 1986).Dinegara negara maju seorang pengangguran memperoleh jaminan sosial dalam bentuk bantuan makan. Sebaliknya dinegara berkembang seseorang agar bisa hidup harus bekerja sekalipun bekerja asal kerja, sehingga jumlah pengangguran (terbuka) relatif kecil. Oleh sebab itu, fenomena pengangguran (terbuka) dinegara berkembang yang patut diwaspadai bagi stabilitas ekonomi sosial adalah pengangguran terdidik (skilled unemployement). Kelompok ini jumlahnya tidak banyak tetapi berpotensi menimbulkan kerusuhan atau krisis jika lapangan kerja yang ada ternyata tak mampu menampung mereka. Mereka adalah kelompok terdidik, berpendidikan minimal SLTA dan memiliki akses ekonomi, sosial, maupun politik.Jumlah pengangguran (terbuka) di Kalimantan Barat sampai dengan Februari 2008 mencatat 138,796 orang. Dari jumlah tersebut, tercatat lebih sepertiganya (37%) merupakan penganggur terdidik (SLTA+); disusul kemudian penganggur tamat SD (25%); tamat SLTP (22%); TBTSD (Tidak/Belum Tamat SD) sekitar 12% dan TBPS (Tidak/Belum Pernah Sekolah) sekitar 4%. Pola ini ternyata tidak banyak berbeda dibanding tahun sebelumnya dimana jumlah penganggur terdidik masih cukup dominan.Masih relatif banyaknya penganggur terdidik di Kalimantan Barat disebabkan beberapa hal : Pertama ketidakseimbangan terjadi pada pasar kerja sektor formal dimana kesempatan kerja sektor formal yang tersedia terbatas sementara jumlah angkatan kerja baru yang memasuki pasar kerja cukup banyak.Kedua, adanya information asymetry sehingga angkatan kerja yang ada tidak mengetahui adanya lowongan kerja karena terbatasnya akses, IT dan hal hal lainnya yang sulit dijelaskan. Ketiga, penganggur terdidik yang mencari pekerjaan tidak siap pakai (mismatch between education and jobs) karena sistem pendidikan nasional selama ini kurang memprioritaskan pendidikan kejuruan sehingga tidak mampu menyediakan tenaga kerja siap pakai.Penganggur terdidik sebenarnya memiliki potensi besar secara ekonomi. Dari segi usia mereka pada umumnya muda (usia produktif), memiliki motivasi kuat untuk menghasilkan output. Mereka juga mempunyai pemahaman bahwa lebih baik menganggur dari pada asal bekerja, karena jika asal kerja mereka tidak akan berbeda dengan pekerja informal. Selama menganggur mereka masih mampu menghidupi dirinya. Sebagai kelompok penduduk yang terdidik, kesadaran politik sosial mereka cukup tinggi, dan cenderung kritis tatkala melihat dan mengalami sendiri pasar kerja tidak berlangsung secara fair misalnya, atau pemerintah selaku regulator tidak menjalankan peranannya dengan baik. Dengan demikian, permasalahannya menjadi komprenhensif. Solusi secara parsial hanya menghasilkan stabilitas sesaat dan akan berbahaya dimasa mendatang (Nyoto Widodo, Alumnus FE-UI, berdomisili di Pontianak).